5 Pendekatan Alternatif dalam Dunia Pendidikan

Sekolah “tradisional” dengan ceramah panjang, pekerjaan rumah, dan raport, tidak tentu cocok dengan setiap individu. Berikut adalah lima pendekatan altenatif guna menjalankan pendidikan.

1. Montessori

Dr. Maria Montessori, wanita pertama di italia yang mendapat gelar dokter, mengembangkan model pendidikan yang menggunakan namanya “Montessori” saat mengajar 50 siswa-siswi kurang mampu di pinggiran Roma pada tahun 1907. Dr. Montessori yang sebelumnya bekerja dengan mahasiswa berkebutuhan khusus, menolah gagasan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai “gelas kosong”. Sebaliknya, ia percaya bahwa anak-anak dilahirkan dengan pikiran penyerap dan sepenuhnya mampu belajar mandiri.

Montessori mengembangkan kerangka kerja untuk mempesiapkan lingkungan pembelajaran, dimana anak-anak diberdayakan dengan kebebasan untuk memilih bagaimana mereka akan menghabiskan waktu mereka di sekolah, mencari kesempatan untuk belajar sendiri. Dia memelopori sebagian besar dasar penddidikan pra-sekolah dan sekolah dasar saat ini.
Montessori percaya bahwa anak-anak menikmati dan membutuhkan waktu yang lama serta konsentrasi dimana pendidikan model “lama” justru menghambat perkembangan alamiah anak dengan pelajaran terstuktur dan kurikulum yang diatur oleh guru. Siswa-siswi Montessori bebas menghabiskan waktu namun mereka yang memilih, sementara guru atau pembimbing akan selalu mengamati.

Dr. Montessori adalah pendukung utama pembelajaran Taktil (motorik halus) dengan menggunakan bahan klasik seperti puzzle, clay dan kotak alfabet dimana anak-anak didorong untuk terus meraba dan merasa sebelum belajar menulis. Kelas Montessori umumnya pada rentang kelompok umur tiga tahun (balita).
Kurangnya nilai, tes dan bentuk-bentuk penilaian formal membantu memastikan bahwa kelas tetap non-kompetitif.

Sekolah Montessori pertama di buka di Tattytown, NewYork, pada tahun 1911. The New York Times menggambarkan sekolah Montessori sebagai berikut ”Bukan berarti sekolah ini diperuntukan bagi anak-anak penyandang cacat atau anak-anak penderita TBC atau anak-anak yang mengalami anemia. Para murid belia dengan kelas yang cerah di Tarrytown normal, bahagia, anak-anak yang sehat, anak laki-laki dan anak perempuan baik-baik dari pinggiran kota”.

2. Steiner/ Waldorf

Selain menggagas bidang Antroposofi, yang didasarkan kepada keyakinan bahwa manusia memiliki kebijaksanaan yang melekat untuk mengungkap misteri dunia spiritual, filsuf dan ilmuwan Austria Rudolf Steiner mengembangkan model pendidikan yang berfokus pada pengembangan ”Jiwa dan Raga“. Mendapat pengaruh dari orang-orang seperti Goethe dan Jean Piaget, Steiner meyakini ada 7 tahun tahap perkembangan anak, dan dia menggunakan pendekatan yang mencerminkan apa yang dia pikir harus dan tidak boleh diajarkan pada tiap-tiap tahap perkembangan tersebut.

Steiner mendirikan sekolah Waldorf pertama ( Istilah Steiner atau Waldorf sekarang digunakan untuk menggambarkan ajaran steiner ) pada tahun 1919 di Stutgart, Jerman, untuk anak-anak pekerja di pabrik rokok Waldorf-Astoria. Kurikulum asli berlangsung selama 12 tahun yang bertujuan untuk mempersiapkan siswa untuk “Hidup” dengan penekanan pada ekspresi kreatif dan nilai-nilai sosial dan spiritual. Selama 10 tahun, sekolah steiner di Stuttgart menjadi sekolah swasta terbesar di Jerman. Ketika Nazi menutup sekolah-sekolah di Jerman selama Perang Dunia II, guru Waldorf melarikan diri ke negara-negara lain, yang kemudian meningkatkan popularitas metode tersebut setelah perang berahir.

Kurikulum yang mendefinisikan metode Waldorf relatif tetap dan tidak berubah dalam 90 tahun terahir. Steiner meyakini 7 tahun pertama kehidupan anak, periode ditandai dengan pembelajaran berbasis meniru dan sensorik, harus ditujukan untuk mengembangkan kemampuan non-kognitif anak. Untuk itu, anak-anak TK di sekolah Wladorf didorong untuk bermain dan berinteraksi dengan lingkungan mereka bukannya diajakan konten akademis dalam suasana ” tradisional “. Steiner juga percaya bahwa anak-anak harus belajar menulis sebelum mereka belajar membaca, dan anak tidak boleh belajar membaca sebelum usia 7 tahun. Dari usia 7-14 tahun kreatiftas dan imajinasi ditekankan. Pada tahap ini, siswa sekolah Waldorf bisa belajar bahasa asing, serta Eurythmy, tarian ekspresif yang dikembangkan oleh Steiner, dan seni pertunjukan lainnya. Pada usia 14 tahun, siswa siap untuk lingkungan yang lebih terstruktur yang menekankan tanggung jawab sosial.

3. Harkness

Metode Harkness tidak didasarkan pada kurikulum atau ideologi tertentu, melainkan sebagai pelengkap yang penting. Dikembangkan oleh pengusaha minyak dan dermawan Edward Harkness, sebuah meja oval besar adalah pusat dari setiap kelas yang menggunakan metode Harkness dalam pembelajarannya. Siswa duduk dengan teman sekelas dan guru mereka di meja oval dan membahas setiap dan semua mata pelajaran, dari kalkulus hingga sejarah, sering hingga ke rincian terkecil. Metode Harkness merupakan perubahan yang signifikan dari penataan ruang kelas tradisional dimana guru berada di depan papan tulis dan siswa berada di deretan meja. Pendapat individu dibentuk, diterima, ditolak, dan direvisi di meja Harkness, dimana tanggung jawab utama guru adalah untuk memastikan bahwa tidak ada satu siswa mendominasi diskusi dan untuk menjaga siswa tetap pada lingkupnya. Tidak ada percakapan yang identik, yang dapat membantu guru menghindari kejenuhan yang mungkin timbul dari mengajar pelajaran yang sama dari tahun ke tahun.

Pada tahun 1930 Harkness memberikan sumbangan jutaan dolar ke Phillips Exeter Academy, sebuah sekolah menengah swasta di New Haampshire, dengan ketentuan bahwa uang digunakan untuk menerapkan metode pendidikan baru yang akan melibatkan semua siswa dalam proses pembelajaran. Sebagian sumbangan digunakan untuk mendatangkan guru baru yang memungkinkan untuk memperkecil ukuran kelas ( jumlah murid ) rata-rata. Dimana metode Harkness paling efektid dalam kelas dengan ukuran 15 siswa atau kurang.

Pengaturan meja Harkness memaksa siswa untuk mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri dan mendorong mereka untuk berbagi pendapat mereka. Selain belajar tentang topik yang sedang dibahas, siswa juga belajar keterampilan berbicara di depan umum yang berharga dan untuk menghormati ide dan gagasan sesama siswa. Studi telah mendukung efektivitas metode ini dalam meningkatkan retensi dan kemampuan siswa mengingat materi. Butuh waktu untuk menyelami suatu subyek dengan menggunakan metode Harkness, yang merupakan salah satu alasan, selain keterbatasan ukuran kelas, menjadikannya tidak populer di sekolah umum.

4. Reggio Emilia

Reggio Emilia adalah pendekatan pendidikan yang digunakan terutama untuk mengajar anak-anak usia 3 sampai 6. Metode ini dinamai dengan nama kota di Italia utara di mana guru Loris Malaguzzi mendirikan sebuah pendekatan baru untuk pendidikan anak usia dini setelah Perang Dunia II. Filosofi Malaguzzi itu didasarkan pada keyakinan bahwa anak-anak yang kompeten, penasaran dan percaya diri, individu yang dapat berkembang dalam lingkungan belajar dipandu dengan rasa hormat dan saling menghargai antara guru dan siswa adalah hal yang terpenting. Ketika pedidikan pra-sekolah Reggio Emilia yang pertama dibuka pada 1945, pendekatan ini justru mulai di soroti ketika majalah Amerika Newsweek memuat Diana pra-sekolah di Reggio Emillia salah satu diantara lembaga pendidikan anak usia dini terbaik.

Sekolah Reggio Emillia menekankan pentingnya Orang Tua mengambil peran aktif dalam pendidikan awal anak mereka. Ruang kelas yang dirancang untuk melihat dan merasa seperti di rumah dan menggunakan kurikulum yang fleksibel. Reggio Emilia menekankan pertumbahan dari sudut pandang siswa. Perlengkapan merupakan komponen penting dari setiap kelas. Guru Reggio Emillia sering menyimpan dokumentasi luas perkembangan anak, termasuk folder karya seni dan catatan dibalik setiap karya.

Metode ini tentang menjelajahi dunia bersama-sama dan mendukung pemikiran anak bukan hanya memberi mereka jawaban yang siap pakai. Reggio Emilia adalah tentang potensi manusia seutuhnya dan bagaimana mendukung anak secara intelektual dan kreatif.

5. Sudbury

Sekolah Sudbury mengambil nama mereka dari The Sudbury Valley School, yang didirikan pada tahun 1968 di Framingham, Massachusetts. Sekolah Sudbury beroperasi di bawah prinsip-prinsip dasar indivisualitas dan demokrasi. Di sekolah Sudbury, siswa memiliki kendali penuh atas apa dan bagaimana mereka belajar, serta bagaimana mereka dievaluasi. Pada rapat sekolah mingguan, siswa memberikan suara pada segala sesuatu dari aturan sekolah dan bagaimana menghabiskan anggaran, apakah anggota staf harus dipekerjakan kembali. Setiap anggota siswa dan staff memiliki suara dan semua orang terhitung sama.

Falsafah Sadbury adalah mengasumsikan bahwa siswa mampu bertanggung jawab pada tingkat tertentu dan membuat keputusan yang tepat; ketika mereka membuat keputusan yang berakibat buruk, mereka diharapkan belajar mengenai konsekuensi. Sementara banyak sekolah negeri dan swasta terus-menerus mencari cara baru untuk memotivasi siswa untuk belajar, sekolah Sudbury tidak repot-repot. Menurut pendekatan Sudbury, siswa secara inheren termotivasi untuk belajar. Pendidik Sudbury menggunakan contoh bayi yang belajar merangkak meskipun fakta berbaring di tempat tidur lebih nyaman dan lebih mudah.

Telp
WA / Call /SMS